Wacana legalisasi kasino kembali mencuat di ruang publik setelah anggota DPR RI, Galih Kartasasmita, menilai praktik tersebut berpotensi menjadi sumber penerimaan baru bagi negara. Pandangan itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan pada 8 Mei 2025.
Dalam rapat tersebut, kasino disebut sebagai salah satu alternatif memperluas basis penerimaan negara, di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan pembiayaan pembangunan. Galih mencontohkan langkah sejumlah negara Arab yang mulai membuka kasino secara terbatas sebagai bagian dari strategi ekonomi dan pariwisata, meski tetap berada dalam kerangka regulasi ketat.
Wacana ini langsung memantik perdebatan, karena Indonesia memiliki sejarah panjang terkait praktik perjudian.
Sejarah mencatat, kasino pernah beroperasi secara resmi di Jakarta pada 1967, saat ibu kota dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin. Kala itu, legalisasi perjudian diterapkan sebagai kebijakan fiskal daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan mencatat keuntungan besar dari pajak kasino, yang digunakan untuk membangun infrastruktur kota.
Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, anggaran Jakarta melonjak hingga Rp122 miliar, angka yang tergolong sangat besar pada masanya. Dana tersebut disebut berkontribusi pada pembangunan jalan, fasilitas publik, hingga ruang kebudayaan ibu kota.
Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama. Pada 1974, pemerintah pusat secara resmi melarang praktik kasino melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Sejak saat itu, perjudian dinyatakan ilegal dan bertentangan dengan norma hukum serta sosial di Indonesia.
Kini, lebih dari lima dekade kemudian, wacana yang sama kembali mencuat. Sebagian pihak melihatnya sebagai solusi fiskal pragmatis, sementara pihak lain menilai kebijakan ini berisiko menabrak nilai moral dan hukum yang berlaku.
Pemerintah sendiri belum menyatakan sikap resmi. Namun satu hal jelas: kasino kembali menjadi topik sensitif yang membuka perdebatan lama antara kebutuhan ekonomi dan batasan hukum di Indonesia.

Komentar