PDIP dan Ganjar Pranowo Hanya Menunggu Waktu yang Tepat
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SECARA elektoral, diakui atau tidak, Ganjar Pranowo adalah senjata andalan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menghadapi kandidat potensial sekelas Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Rasanya thesis ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari survei-survei politik yang muncul sejak setahun belakangan, jika digeneralisasi, Ganjar Pranowo lebih sering berada di posisi teratas ketimbang Prabowo dan Anies.
Apalagi hasil survei terbaru survei Litbang Kompas, yang menempatkan Ganjar Pranowo di posisi sangat kompetitif terhadap kandidat lain di satu sisi dan jauh di atas Puan Maharani di sisi lain.
Karena itu, menurut hemat saya, bagi PDIP pilihan antara memilih Ganjar Pranowo atau Puan Maharani sebenarnya bukanlah sebuah opsi elektoral yang masuk akal, karena menyandingkan dua opsi yang tidak sepadan.
Apalagi, sepanjang pengetahuan saya, PDIP adalah salah satu partai yang paling sensitif dengan hasil survei ilmiah.
PDIP tidak sekadar beretorika dengan sikap tersebut alias PDIP telah membuktikan sendiri keberpihakannya kepada realitas politik yang ada yang direfleksikan oleh survei-survei politik terpercaya oleh lembaga survei bereputasi.
Sebut saja, misalnya, saat Megawati Soekarnoputri dengan dewasa dan legowo memutuskan untuk tidak ikut berlaga di pemilihan tahun 2014 lalu.
Keputusan tersebut bukan saja lahir dari kebijaksanaan dan kenegarawanan politik seorang Megawati, tapi juga lahir dari fleksibilitas PDIP dalam beradaptasi dengan realitas politik yang ada.
Tak bisa dipungkiri kala itu bahwa nama Joko Widodo sedang naik daun setelah berhasil memenangkan pertarungan politik di ibu kota negara.
Semua hasil survei politik menempatkan Jokowi sebagai satu-satunya kader PDIP yang mampu menyaingi elektabiltas Prabowo Subianto.
Memang terkesan kala itu bahwa PDIP membutuhkan waktu yang agak lama untuk mengakuinya.
Pertama, boleh jadi memang terdapat dua aspirasi di internal PDIP, yakni antara kembali memajukan Megawati sebagai calon presiden atau menerima figur baru yang bukan dari trah Sukarno, tapi sedang naik daun.
Kedua, sebagaimana saya meyakini, ada proses dan mekanisme yang harus dilalui oleh sebuah partai sebesar PDIP untuk sampai pada satu kesimpulan penting terkait siapa calon presiden resmi partai.
Dengan lain perkataan, PDIP meyakini bahwa untuk sampai pada keputusan sepenting itu, tidak saja harus berdasarkan aspirasi populer yang sedang berkembang, tapi juga harus berdasarkan mekanisme legal yang berlaku di internal PDIP.
Seolah hal ini juga mengamini kalimat Bung Karno yang pernah mengatakan,”Apa yang sudah disepakati secara politik, jangan pernah diperdebatkan secara estetis”.
Nah, dalam konteks inilah semestinya kita memahami ketenangan Megawati di satu sisi dan kesabaran Ganjar Pranowo di sisi lain.
Ganjar Pranowo tentu bukan kader kemarin sore. Ganjar sudah malang melintang di dunia politik bersama PDIP alias tak pernah dengan partai lain.
Artinya, Ganjar Pranowo memahami bahwa akan ada suatu waktu di mana aspirasi publik akan dinegosiasikan dengan aspirasi internal partai, lalu diukur dari segala sisi opsi mana yang paling mungkin dan paling masuk akal secara elektoral.
Atas pemahaman yang mendalam terkait "rule of the game" di internal PDIP tersebut, Ganjar Pranowo bergeming saat muncul suara-suara kritis yang menginginkan Ganjar Pranowo mencari kendaraan politik lain.
Karena, Ganjar Pranowo memang memahami bahwa bergemingnya PDIP selama ini terkait perkembangan politik yang dialami Ganjar Pranowo di ruang publik nasional bukan berarti PDIP melupakan Ganjar Pranowo.
Meskipun terkesan bahwa PDIP mempersempit ruang politik Ganjar Pranowo di satu sisi dan memberikan peluang kepada Puan di sisi lain, tapi sejatinya tak ada yang benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam PDIP.
Apakah benar demikian atau hanya penampakan luar yang sengaja dimunculkan oleh PDIP dan Ganjar Pranowo sebagai bagian dari strategi elektoral.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, PDIP hanya sedang melakukan uji coba politik atau "test the water."
Dengan kata lain, PDIP sedang melakukan seleksi politik dalam rentang waktu tertentu hingga benar-benar yakin siapa yang akan menjadi calon presiden resmi partai untuk laga 2024.
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada kecenderungan untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada Puan Maharani.
Karena fakta bahwa Puan adalah anak kandung Megawati dan berstatus "original" trah Sukarno sudah tidak bisa dibantah sama sekali. Tapi tak ada yang salah dengan itu toh.
Apa bedanya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang melakukan segala upaya agar Agus Harimurti Yudhoyono menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan calon presiden dari partai yang sama. Tidak berbeda sama sekali.
Jadi memang tak ada yang salah dengan kecenderungan tersebut dalam konteks PDIP. Hal semacam itu sangat alami terjadi di dalam dunia politik.
Apalagi, di sisi lain PDIP dan Megawati tidak seambisius SBY dalam melejitkan nama Puan di ruang publik.
Masalah akan muncul jika PDIP dan Megawati tanpa tedeng aling-aling memaksakan Puan sebagai opsi tak beralternatif yang akan menjadi calon presiden dari partai dengan menegasikan segala kemungkinan lain selain Puan.
Namun nyatanya toh tidak demikian. PDIP masih sangat elegan dalam bersikap dan elegan dalam menyandarkan keputusan penting tersebut kepada kebijaksanaan ketua umum di satu sisi dan mekanisme politik di internal partai di sisi lain.
Dan lebih dari itu, yang harus dipahami juga adalah bahwa PDIP bukan sekadar partai yang memiliki basis ideologis yang kuat, tapi menurut saya juga memiliki basis intelektual yang mumpuni yang akan menjauhkan partai dari keputusan-keputusan politik yang tidak didasarkan pada kalkulasi rasional-ilmiah.
Artinya, sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan, jika memilih Ganjar Pranowo sebagai calon presiden adalah pilihan yang rasional secara politik, "measurable" secara ilmiah, dan "competitive plus marketable" di pasar politik, maka pada ujungnya PDIP akan sampai juga pada kesimpulan bahwa Ganjar Pranowo memang kandidat yang paling tepat untuk PDIP, bukan sosok lain.
Nah, dalam konteks ini kita akan bisa memahami bahwa boleh jadi Ganjar Pranowo memang sedang dalam masa penempaan politik, terutama terkait loyalitas pada partai di satu sisi dan keteguhan personal sebagai seorang calon pemimpin di sisi lain.
Sementara itu, soal drama sepanjang masa penempaan hanya bagian dari "gimmick politik" untuk meningkatkan popularitas Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP.
Dengan kata lain, PDIP pada ujungnya akan sampai pada satu kesimpulan bahwa pencalonan Ganjar oleh PDIP akan menjadi keputusan yang tak terelakkan.
Dan perpaduan keduanya (PDIP dan Ganjar) bisa jadi akan menjadi kunci keberlanjutan kepemimpinan politik partai PDIP untuk sepuluh tahun lagi setelah tahun 2024 nanti.
Komentar