Kisah Mbah Oman: Dituduh Perampok, Disiksa, Lalu Menang Keadilan
Tahun 2024 menjadi babak yang tak pernah dibayangkan oleh Oman Abdurohman, atau yang akrab disapa Mbah Oman. Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang luka fisik dan trauma batin, keadilan akhirnya mengetuk pintunya—meski datang dengan sangat terlambat.
Negara akhirnya membayar kesalahannya.
Rp 220 juta menjadi angka resmi pengganti penderitaan seorang kakek yang pernah dicap penjahat, padahal tak pernah berbuat jahat.
PAGI TENANG DI MASJID, AWAL NERAKA PANJANG
Pagi itu, 22 Agustus 2017, sekitar pukul 09.00 WIB, Mbah Oman tengah melakukan rutinitasnya: membersihkan masjid di tempat tinggalnya di Banten. Ia hanyalah seorang marbot, hidup sederhana, jauh dari dunia kriminal.
Namun ketenangan itu mendadak runtuh.
Sejumlah pria berpakaian preman datang menghampiri. Mereka mengaku polisi dari Polres Lampung Utara. Tanpa banyak penjelasan, Mbah Oman dituding sebagai pelaku pencurian rumah di Kotabumi, Lampung Utara.
Ia terdiam. Kaget. Tak paham apa yang sedang terjadi.
Tanpa perlawanan, Mbah Oman dibawa pergi—dari masjid ke Polsek Balaraja, lalu bersiap menuju Lampung. Sejak saat itu, hidupnya tak pernah sama lagi.
MEMBANTAH, JUSTRU DISIKSA
Di kantor polisi, Mbah Oman berusaha menjelaskan satu hal penting:
ia tidak bersalah.
Ia mengaku tak pernah melakukan pencurian. Bahkan, menginjakan kaki ke Lampung pun belum pernah. Namun bantahan itu bukan didengar—melainkan dibalas dengan kekerasan.
Pengakuan dipaksa.
Tekanan meningkat.
Penyiksaan dimulai.
“Aku disuruh ngaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa,” tutur Mbah Oman mengenang hari kelam itu.
Yang lebih menyakitkan, semua ini dilakukan atas nama hukum.
DIBAWA KE KEBUN, PELURU JADI JAWABAN
Dalam perjalanan menuju Polres Lampung Utara, Mbah Oman tak langsung dibawa ke kantor polisi. Ia justru digiring ke area perkebunan.
Di tempat sunyi itu, kekerasan mencapai puncaknya.
Pukulan bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuhnya. Saat Mbah Oman tetap menolak mengaku, emosi aparat memuncak. Sebuah keputusan brutal pun diambil.
Dor!
Peluru ditembakkan ke kaki kiri Mbah Oman. Luka tembus, tulang terkena. Ancaman pun dilontarkan: mengaku atau mati.
Dalam kondisi ketakutan dan kesakitan, Mbah Oman akhirnya menyerah. Ia mengaku sesuatu yang tidak pernah ia lakukan—demi tetap hidup.
RUANG SIDANG MEMBEBASKANNYA, TAPI TAK MENYEMBUHKAN
Kasus ini akhirnya disidangkan di Pengadilan Negeri Kotabumi pada 2018. Jaksa mendakwa Mbah Oman terlibat perampokan.
Namun fakta berbicara jujur.
Pada 4 Juni 2018, majelis hakim memutuskan:
Mbah Oman tidak bersalah.
Ia dibebaskan. Hak dan martabatnya dipulihkan. Tapi tubuhnya telah cacat. Luka fisik dan batin terlanjur tertanam.
PRAPERADILAN: MELAWAN NEGARA, MENANG KEADILAN
Tak berhenti di situ, Mbah Oman bersama kuasa hukumnya mengajukan praperadilan. Ia menggugat aparat negara yang telah merenggut hidupnya.
Hasilnya, pada 17 Juni 2019, pengadilan memenangkan Mbah Oman. Negara diwajibkan membayar ganti rugi materil dan immateril sebesar Rp 220 juta.
Namun, uang itu baru benar-benar diterima lima tahun kemudian.
2024: KEADILAN DATANG, MESKI TERLAMBAT
Pada 8 Januari 2024, di Kantor KPPN Kotabumi, Mbah Oman akhirnya menerima ganti rugi tersebut. Kapolres Lampung Utara membenarkan pembayaran dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Kasus ini menjadi pengingat keras:
kesalahan penegakan hukum bisa menghancurkan hidup orang yang tak bersalah.
Uang bisa dibayar.
Putusan bisa dibacakan.
Tapi rasa sakit dan trauma—tak pernah benar-benar bisa dihapus.
Mbah Oman selamat.
Namun kisahnya akan selalu menjadi catatan kelam tentang betapa mahalnya harga sebuah salah tangkap.
- #MbahOman
- #SalahTangkap
- #KeadilanTerlambat
- #HukumTajamKeBawah
- #SuaraRakyat
- #RakyatKecil
- #PenegakanHukum
- #KasusNyata
- #ViralIndonesia
- #BeritaNasional
Komentar