SEJAK KAPAN PROPINSI ACEH MARAH KE INDONESIA
Sejak kapan hubungan Indonesia dan Aceh mulai retak tidak bisa dijawab dengan satu tanggal atau satu peristiwa. Retaknya bersifat bertahap, dimulai sejak janji politik yang tidak sepenuhnya ditepati, lalu membesar karena ketidakadilan pengelolaan kekuasaan dan sumber daya. Ini bukan cerita emosional, tapi rangkaian sebab-akibat yang tercatat dalam sejarah negara.
Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia bukan sebagai wilayah taklukan. Pada masa revolusi 1945–1949, Aceh menjadi daerah pendukung utama republik. Rakyat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli pesawat Seulawah, memberi perlindungan wilayah, dan menjadi basis logistik penting. Soekarno saat itu berjanji Aceh akan diberi status khusus, termasuk kebebasan menjalankan syariat dan otonomi luas. Janji ini menjadi dasar kepercayaan Aceh terhadap republik.
Masalah muncul setelah Indonesia merdeka. Tahun 1950, Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Kebijakan ini dianggap merendahkan posisi politik Aceh dan menghilangkan peran ulama serta elite lokal. Reaksi muncul dalam bentuk pemberontakan DI/TII Aceh yang dipimpin Daud Beureueh. Konflik ini berakhir pada 1962 setelah Aceh kembali diberi status Daerah Istimewa. Secara administratif selesai, tetapi rasa tidak dipercaya dan kekecewaan belum hilang.
Retak terbesar justru terjadi pada awal 1970-an, setelah ditemukannya ladang gas Arun di Lhokseumawe. Gas Arun menjadi salah satu sumber devisa terbesar Indonesia pada masa Orde Baru. Produksi gas cairnya memasok kebutuhan luar negeri dan menghasilkan pendapatan negara dalam jumlah sangat besar. Namun, manfaat ekonomi tersebut hampir tidak dirasakan oleh masyarakat Aceh. Wilayah sekitar industri gas tetap miskin, infrastruktur tertinggal, dan kesempatan kerja lokal terbatas.
Pengelolaan keamanan kawasan gas dilakukan dengan pendekatan militer. Warga setempat lebih sering diposisikan sebagai ancaman, bukan sebagai pemilik sah wilayah. Pada titik ini, ketidakadilan ekonomi berubah menjadi persoalan politik dan harga diri. Aceh merasa sumber dayanya diambil, tetapi rakyatnya tidak dianggap.
Tahun 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka. GAM tidak lahir tiba-tiba. Ia muncul dari akumulasi kekecewaan panjang, janji politik yang diabaikan, kekayaan alam yang dikelola terpusat, dan identitas Aceh yang dipinggirkan. Faktor ekonomi memang penting, tetapi ia hanya salah satu pemicu. Inti masalahnya adalah relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah.
Negara merespons GAM dengan pendekatan militer. Pada 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer. Dalam periode ini, kekerasan meluas, korban sipil berjatuhan, dan trauma tertanam dalam kehidupan masyarakat. Negara berhasil menekan gerakan bersenjata, tetapi gagal memenangkan kepercayaan rakyat. Gas Arun tetap mengalir, pendapatan negara tetap besar, sementara luka sosial semakin dalam.
Perubahan besar baru terjadi setelah tsunami 2004. Bencana tersebut membuka Aceh kepada dunia dan memaksa semua pihak menghentikan konflik. Perjanjian Helsinki 2005 mengakhiri perang panjang antara GAM dan pemerintah Indonesia. Aceh tidak merdeka, tetapi mendapatkan otonomi khusus, bagi hasil migas, partai lokal, dan pengakuan politik yang lebih luas.
Kesimpulannya, Aceh tidak pecah karena semata-mata ekonomi. Ekonomi hanya memperjelas ketidakadilan yang sudah ada. Akar masalahnya adalah janji yang dilanggar, sentralisasi kekuasaan, dan pengelolaan sumber daya tanpa keadilan bagi pemilik wilayah. Gas Arun bukan penyebab utama, tetapi simbol paling nyata dari hubungan yang timpang antara Aceh dan negara. Konflik Aceh adalah pelajaran tentang apa yang terjadi ketika negara hadir sebagai penguasa, bukan sebagai pelindung.
Beberapa bulan sebelum isu ini ramai dibicarakan, saya sudah lebih dulu menuliskannya dalam sebuah novel berjudul Atjeh. Novel ini tidak lahir dari emosi sesaat, tapi dari kegelisahan lama tentang hubungan Aceh dan Indonesia yang sejak awal tidak pernah sederhana. Tujuannya bukan menghasut, bukan membela satu pihak, melainkan membuka cara berpikir dan menumbuhkan tanda tanya, sebenarnya bagaimana posisi Aceh di dalam republik ini sejak awal berdiri.
Aceh tidak masuk Indonesia sebagai wilayah jajahan yang ditaklukkan. Secara historis, Aceh adalah wilayah merdeka, memiliki kedaulatan, diplomasi, dan kekuatan sendiri, serta tidak pernah sepenuhnya dikuasai Belanda. Ketika Republik Indonesia lahir, para pemimpin Aceh memilih berdiri di sisi Indonesia bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran politik dan visi masa depan. Mereka melihat republik sebagai bentuk negara bersama, bukan negara penjajah baru.
Masalahnya muncul ketika republik yang diimpikan sebagai federasi daerah-daerah berdaulat justru berubah menjadi negara yang sangat tersentralisasi. Hubungan antara republik induk dan daerah tidak lagi setara. Aceh, yang sejak awal memberi dukungan besar, perlahan diperlakukan hanya sebagai wilayah administratif, bukan mitra politik. Janji otonomi, penghormatan identitas, dan hak mengatur diri sendiri berjalan tersendat.
Novel Atjeh mencoba menelusuri pasang surut itu secara jujur. Mengapa pemimpin-pemimpin awal Aceh memilih Indonesia, bagaimana kepercayaan itu dibangun, lalu bagaimana perlahan retak. Di sana tidak ada glorifikasi pemberontakan, juga tidak ada pembenaran kekerasan negara. Yang ada hanya satu pertanyaan besar, apa yang terjadi ketika sebuah wilayah yang merasa setara, diperlakukan sebagai bawahan.
Novel ini bukan jawaban. Ia hanya membuka ruang berpikir. Karena sejarah Aceh dan Indonesia bukan cerita hitam-putih, melainkan rangkaian keputusan politik, janji, dan konsekuensi yang masih kita tanggung sampai hari ini.
Novel Atjeh bisa kamu dapatkan novel digitalnya 25 ribu atau bisa dibaca sampai tamat di KBMAPP.
Komentar