Tersangka: Saya Tak Suka Pendatang Tidur Disini
Kabar mahasiswa dipukuli hingga tewas di masjid kawasan Sibolga menyayat perasaan banyak orang. Masjid, rumah ibadah, tempat menyebut dan menyembah pemilik hidup, justru jadi tempat merenggut hidup seorang pemuda 21 tahun yang cuma ingin istirahat sejenak.
Ia dihabisi karena kelelahan menderanya, membuatnya terpaksa tak menggubris larangan seorang jamaah di sana untuk tidur. Ia tetap tidur, karena dalam perjalanan jauh, kantuk jauh lebih kuat daripada tenaga tersisa.
Terlebih bagi yang pernah melakoni peran sebagai musafir, kehabisan bekal, tak ada tempat meminta bantuan, masjid sering jadi tujuan. Minimal bisa menumpang mandi, selain terkadang juga beristirahat dan salat. Namun patut diakui, tak semua pengurus masjid adalah manusia yang benar-benar mengenal siapa yang disembah di sana.
Jadilah, anak muda yang masih berstatus mahasiswa, seorang yatim, masih memiliki satu adik, meregang nyawa di halaman masjid itu. Ia seorang musafir, perantau, berasal jauh dari pulau di Aceh, Simeulue--butuh 14 jam perjalanan di pelabuhan di Aceh Singkil menuju ke sana.
Ia bahkan sempat diseret tanpa ada perasaan iba dari pelakunya sampai ke halaman masjid. Tak ada yang peduli dari mana asalnya dan apa kesulitannya.
Yang ada hanya amarah, hanya karena tersinggung lantaran ia tak bisa melawan kantuk menderanya hingga tidur di sana. Berujung ditimpakan buah kelapa, menghantam kepalanya. Niat ingin tidur di tempat yang suci, namun justru harus tidur selamanya. Tak bisa lagi menjenguk adiknya yang jauh di mata.
Ia berpulang di tempat yang tadinya sempat dikira sebagai rumah Tuhan. Persis ketika pikirannya, agaknya dibalut antara tanda tanya dan rindu kapan bisa pulang ke kampung halaman yang tersekat oleh laut.
Teringat pengalaman pribadi di masjid megah di alun-alun Bandung. Saya kehabisan bekal, tak ada tempat menginap. Setelah isya tertidur di tempat salat, hingga dikagetkan empat orang berwajah marah.
"Kenapa tidur di sini?"
"Anda pikir ini tempat tidur?"
Beriringan juga dengan bentakan-bentakan yang cukup menyentak perasaan. Sorot mata mereka sangat tidak ramah. Ya, sudah. Mengalah.
Lantas keluar dari masjid itu ke emperan, dan memilih tidur bersama para gelandangan. Tas ransel berisikan beberapa pakaian dan buku menjadi bantal. Namun aroma beberapa gelandangan sempat bikin sulit bernapas, hingga memilih mengalihkan perhatian ke buku dalam tas. Membaca, memanfaatkan cahaya dari lampu sisi masjid. Membaca, hingga kantuk datang lagi dengan begitu kuatnya.
Jadilah tidur pulas di atas ransel. Di emperan. Bersama para gelandangan yang juga tak punya tempat merebahkan diri saat malam datang. Dalam kantuk kuat menyergap, sempat kuprotes dalam hati, "Kukira itu benar rumah-Mu, yang katanya Maha Pemurah. Tapi, aku tidak melihat itu pada orang-orang yang Kau percayakan mengurus rumah-Mu."
Saya pun tidur lelap, hingga dingin luar biasa membalut tubuh. Dua baju kemeja yang saya jadikan selimut tak kuasa menahan dingin menjelang subuh yang luar biasa kuat. Menggigil, sambil berusaha merapat lagi ke dalam masjid, berharap bisa menangkal dingin yang luar biasa.
"Kenapa masih di sini?" salah satu dari keempat orang tadi tiba-tiba mendekati saya lagi. Masih dengan tampang yang jauh dari kata ramah.
"Saya ke sini lagi, sekalian menunggu subuh," jawabku sambil menahan gigil.
"Sudah. Keluar, nanti masuk kalo mau salat. Ini bukan tempat tidur!" Agaknya ia masih takut saya akan tidur lagi di sana.
Berusaha memahami keadaan. Bisa jadi ia tak ramah karena ada kejadian pencurian di dalam masjid. Mungkin terlalu sering kejadian begitu, sehingga ia tak percaya siapa pun yang datang sebelum waktu salat datang.
Pengalaman buruk bagi sebagian orang sering jadi alasan untuk juga bersikap sama buruk. Aku berusaha memaklumi itu, sambil menepis perasaan gelisah akan dihantui oleh dingin malam kota yang terkenal dingin ini.
Lalu, keluar lagi, sambil melamunkan masjid di kampung halaman yang bertahun-tahun pernah turut saya urus. Sembari memeluk tas ransel, berharap mengurangi serangan rasa dingin menyergap, membayangkan masjid di kampungku itu yang tak pernah dikunci. Hanya dipagari agar tak ada kerbau yang masuk. Maklum, dekat sawah.
Namun, masjid pinggir sawah itu hingga kini selalu terbuka untuk siapa saja. Pedagang kaki lima, penjual ikan, siapa pun bebas datang, dan beristirahat saat lelah di bagian yang tak digunakan untuk salat.
Soal pernah jadi sasaran pencurian, tentu saja pernah. Namun tak sampai bikin gaduh. Bahkan ada yang mendoakan pelakunya masih sempat bertobat kelak. Setelahnya, masjid ini tetap terbuka, bukan hanya jadi tempat beribadah, tapi juga melepas lelah. Terlebih, tanpa AC pun, masjid ini memberikan rasa sejuk luar biasa. Rasa sejuk yang tak hanya mengusir lelah, tetapi mampu bikin siapa pun selalu ingin kembali ke masjid tepi sawah ini.
Sementara masjid megah yang baru saja dua kali memberi pengalaman terusir ini, memperlihatkan wajah kota apa adanya. "Beda sekali masjid di kampung dengan masjid di kota," begitulah aku membatin. Sambil menatap halaman masjid itu yang begitu luas, seraya membandingkan dengan masjid di kampung halaman yang beraroma sawah dan berwajah ramah.
Sejak itu, untuk salat pun akhirnya lebih memilih di gang sempit yang juga tak jauh dari masjid itu. Di sana ada musala kecil, hanya diurus seorang kakek yang berusia sangat renta. Namun di sana siapa pun bebas datang untuk salat dan beristirahat. Beliau sebagai pengurus pun menyambut dengan wajah teduh.
Kecil. Musala ini sangat kecil, berada di gang yang bahkan tak bisa dilewati sepeda motor. Namun di sanalah bisa menemukan kebesaran pemilik hidup. Seolah memberi pesan, "Jangan terpukau dengan kemegahan. Jangan meremehkan yang terlihat sempit."
Ketika rezeki membaik, lagi-lagi lebih memilih membantu masjid-masjid kecil. "Mohon izin, iuran listrik di masjid ini biar saya saja yang bayar setiap bulan," jadi kata-kata meluncur dari mulutku yang sempat bikin mata seorang pengurus masjid kecil berkaca-kaca. Di dekat rumah. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi tergerak karena kerap terbayang kebaikan pengurus musala kecil di gang kecil di tengah kota Bandung.
Kali ini, membaca anak muda yang dihabisi persis di pintu masjid, melempar kembali ingatan tentang pengalaman sendiri. Mungkin di balik ajalnya di sana, pemilik hidup ingin membawa pesan agar masjid-masjid diurus manusia yang sadar dengan kemanusiaan. Bukan di tangan manusia yang tidak lebih baik dari hewan yang diharamkan. * Zulfikar Akbar *
Komentar